Sunan Kudus di dalam Babad Tanah Jawa
disebut sebagai Senopati atau Panglima Perang Kerajaan Demak Bintoro.
Juga Senopati Waliullah artinya beliau itu menjadi Senopatinya para
Wali. Sebagai Senopati Kerajaan Demak beliau pernah memimpin peperangan
melawan Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Adipati Terung.
Sedangkan
sebagai Senopati para Wali beliau pernah ditugaskan untuk mengeksekusi
Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang meremehkan syariat sehingga dianggap
sesat. Pada bagian ini akan diceritakan secara singkat tugas Sunan
Kudus di saat haus berhadapan dengan seorang murid Syekh Siti Jenar yang
masih punya darah keturunan dari Raja Majapahit. Penduduk desa Pengging
yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebabnya malam
itu terdengar auman harimau secara terus menerus. Para penduduk
berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk
ke dalam desa.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk
kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam
hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan itu ada harimaunya.
Di
tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang
santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. Orang
itu tak lain adalah Sunan Kudus dan tujuh prajurit Demakyang menyamar
sebagai santri biasa.
“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini ?” Tanya tetua desa.
“Tidak,” jawab Sunan Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau.”
“Aneh, semalam kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,” Guman tetua desa.
“Kalau
begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima
(harimau) padahal tak ada Sima.” Kata Sunan Kudus.
Tetua desa itu
menurut, hingga sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan desa
Sima. Sunan Kudus kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk
menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng
Pengging.
Tiga tahun yang lalu, diawal tampak pemerintahan Raden
Patah. Patih Wanasalam telah diutus untuk menemui Ki Ageng Pengging.
Tujuannya adalah untuk meminta ketegasan Ki Ageng Pengging, apakah Ki
Ageng Pengging bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro
dan penerus dinasti Majapahit atau sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin
menjadi Raja Demak ?
Pertanyaan itu tidak pernah dijawab dengan tegas
oleh Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam orang kepercayaan Raden Patah,
memberi batas waktu tiga tahun untuk berfikir dan menentukan pilihan.
Kini
tiga tahun telah berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke
Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di
jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo
Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan
yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga
atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi
sesungguhnya para prajurit masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan
di balik baju petani. Tapi sewaktu-waktu mereka bisa di gerakkan di saat
diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.
Hal ini di sadari oleh pemerintah
pusat Demak Bintoro. Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus
untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini. Suasana Kadipaten
Pengging benar-benar lenggang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke
sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak
kelihatan, di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini
hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah
penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya
menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng
Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa
hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka
warisan dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia
kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya
akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia akan
menemui kegagalan. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang
pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian
mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.” Kata pelayan itu.
“Aku
bukan tamu biasa,” Kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan
yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”
Pelayan
itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang
dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan
Kudus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging
membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu. Tinggallah di ruang
tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya
diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar
atau di dalam? Di atas atau di bawah ?” Tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam. Patih Demak Bintoro.
“Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging.
“Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.
Jawaban
itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging
punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro
sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau
mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya.
Kasarnya memberontak !
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti
Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus
ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh
Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.
“Saya pernah
mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam
hidup,” Kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu ? Saya
ingin melihat buktinya.”
“Memang begitu !” Jawab Ki Ageng Pengging.
“Kau anggap apa saya aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka.
Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang
aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan
kau anggap aku ini Allah aku memang Allah !”
Klop sudah! Ki Ageng
Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud
atau berfilsafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam
yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan
Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai
ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun
juga. Maka Sunan Kudus bermaksud menggorek kelemahan Ki Ageng Pengging
dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati didalam hidup. Saya ingin melihat buktinya ?”
“Jadi
itukah yang dikehendaki Sultan Demak” Baiklah, tidak ada orang mati
tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Tapi jangan
melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati.” Sunan Kudus
menyanggupi permintaan Ki Ageng.
“Tusuklah siku lenganku ini ……! Ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.
Sunan
Kuduspun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris,
seketika matilah Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki
Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya
di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri
Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras
manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar
berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka
memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus. 200
orang bekas prajurit dan perwira dipimpin oleh bekas Senopati Kadipaten
Pengging mencabut senjata dan berteriak-berteriak memanggil Sunan Kudus
dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima.
Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur.
Orang-orang Pengging mengejar kearah timur, padahal Sunan Kudus dan
pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan
prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu harus berbuat
apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan
mereka, akhirnya mereka dibuat sadar kembali.
“Jangan turut campur
urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga
tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia
sengaja hendak memberontak! nah, kalian rakyat kecil, tak ada
hubungannya dengan urusan ini.
Pulanglah !” Suara Sunan Kudus
terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu
seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang
Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam
kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” Kata Sunan Kudus.
“Segeralah
kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir
kepada pemimpin kalian.” Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan
lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan
jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus sangat dihormat para penguasa pada
jamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu Sultan Handiwijaya maupun Raja
Jipang yaitu Ario Penangsang.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah
barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang
lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada
pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Tantangan Ki Ageng Kedu
Tiba-tiba Sunan Kudus menundingkan tangannya ke arah Ki Ageng Kedu sembari berkata, “Aku di sini Ki Ageng Kedu !”
dalam bahasa Jawanya disebut Jember, hingga sekarang tempat Ki Ageng Kedu itu jatuh disebut Jember.
Setelah roboh ke tanah yang becek dan kotor, segala kesaktian Ki Ageng Kedu lenyap seketika. Dia telah berubah menjadi manusia biasa, tak bisa terbang lagi seperti dulu.
0 komentar